BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga merupakan kelompok manusia terkecil dan tempat pertama kali individu untuk hidup juga tempat pertama kali budaya manusia itu terbentuk. Keluarga terbentuk melalui suatu ikatan perkawinan atau oleh hubungan daradan keturunan. Dengan berdasarkan pada keluarga inti, dimana anggotanya terdiri atas ayah dan ibu beserta anak-anak kandung mereka atau anak-anak yang diadopsi dan dianggap serta diperlakukan sebagai anak kandung sendiri. Dan pada keluarga yang sifatnya meluas memeiliki anggota tidak hanya terdiri dari keluarga inti, melainkan didalamnya masih ada anggota lain seperti kakek-nenek, cucu, keponakan, tante, sepupu, dan sebagainya. Pada kasus lain juga terdapat keluarga yang tidak seperti keluarga inti atau tidak memiliki ayah,ibu dan saudara kandung, melainkan hanya terdiri dari orang-orang yang memiliki satu tujuan dan keyakinan untuk hidup bersamam, seperti : teman dalam satu perguruan, sekolompok penganut agama yang sama, kelompok orang-orang manula, dan sebagainya. Bagaimanapun bentuk keluarga yang ada di sekitar kita, keluarga inti merupakan faktor awal pembentuk kepribadian suatu individu dalam membentuk budaya yang berkaitan dengan kehidupan sosial.
Di samping itu kedudukan suami istri ditentukan oleh kewajiban – kewajiban di dalam keluarga maupun masyarakat luas. Dengan menentukan pekerjaan – pekerjaan tertentu pada para lelaki di luar rumah tangga, masyarakat pun ikut menentukan pembagian kerja di dalam keluarga, sama halnya dengan apa yang dikerjakan anak – anak dan orang tua di dalam keluarga membentuk tugas – tugas apa yang diberikan kepada mereka di luar keluarga. Orang tua berkewajiban untuk pertama kali mensosialir anak – anak mereka, tetapi dengan demikian pula mempertahankan kontrol sosial atas mereka jika mereka meninggalkan rumah.
Dalam bab ini kita akan secara khusus membahas tentang hubungan peran di dalam keluarga yang menggambarkan kedudukan anggota keluarga di masyarakat luar. Kita akan melihat perbedaan umur dan jenis kelamin seperti apa yang tergambarkan dalam pembagian kerja dan pola kekuasaan, dan hubungan orang tua dengan anak – anak dalam proses sosialisasi.
Selain keluarga, terdapat juga suatu kelompok dengan hubungan yang cukup erat dan bahkan sangat berpengaruh dalam kehidupan suatu individu yang sudah mempunyai keluarga. Kelompok yang dimaksud ada bermacam-macam, dimana hubungan antara anggotanya lebih renggang bahkan tidak saling mengenal namun sangat berkaitan saru sama lain. Kelompok masyarakat sekitar yang di maksud bukan terutama dalam arti memiliki ikatan darah ataupun dalam keluarga yang sifatnya meluas, melainkan kategorial yang seperti ( teman bermain, teman sekelas, teman seprofesi, kelompok gaul, dan kelompok-kelompok yang memiliki berbagai macam kebudayaan namun sangat berpengarunh dalam kehidupan seseorang untuk menemukan jati diri mereka)
Karena kedudukan seseorang, dan dengan demikian pula hubungan sosialnya, akan berubah dalam banyak hal selama masa kehidupannya dan kedua orang tuanya (dari kelahirannya dan kedudukannya sebagai orang tua), mungkin ada gunanya untuk meneliti dulu beberapa gambaran kenyataan mengenai masa kehidupannya dan kedua keluarganya di Amerika Serikat selama melampaui tingkat pembentukan pertumbuhan, dan pembubaran karena kematian atau perceraian.
B. Rumusan Masalah
1. Hubungan Kekerabatan dalam keluarga
2. Hubungan antar Suami dengan istri, hubungan antar saudara. hubungan orang tua dengan anak.
3. Keterikatan antara orang tua dengan anak.
4. Hubungan Individu, Keluarga dan Masyarakat
C. Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas matakuliah Sosiologi Keluarga
2. Untuk membuat mahasiswa Sosiologi paham
PEMBAHASAN
Hubungan Kekerabatan
Berkumpulnya anggota keluarga pada waktu – waktu tertentu seperti Lebaran, Natal, Ulang tahun, Perkawinan, atau kematian menunjukkan bahwa pentingnya hubungan dalam keluarga. Bagi penduduk Amerika, Hari natal dan Thanksgiving, merupakan masa untuk berkumpulnya anggota keluarga luas. Berbeda lagi dengan masyarakat Indonesia yang menganut sebagian besar agama Islam, masa Lebaran merupakan masa untuk berkumpul dengan kaum kerabat. Para kerabat biasanya akan saling mengunjungi kerabat yang lebih tua dan yang lebih muda. Mereka yang dari daerah akan berusaha menyempatkan diri untuk pulang kampung. Sehingga libur Lebaran yang biasanya secara resmi hanya satu atau dua hari, akan diperpanjang sendiri oleh banyak orang, baik orang yang merayakannya maupun yang tidak merayakannya. Sudah menjadi hal yang umum apabila sebelum dan sesudah Lebaran kantor – kantor instansi pemerintahan akan sepi meskipun libur resmi Lebaran hanya pada waktu Lebaran itu saja.
Dibandingkan dengan masa dahulu keinginan untuk berkumpul dengan anggota keluarga luas dapat disalurkan dengan membuat paguyuban keluarga tertentu. Mereka biasanya menetapkan hari – hari tetentu untuk berkumpul. Bagi keluarga yang tidak memiliki paguyuban dan ingin tetap berkumpul dengan keluarga luas diluar hari – hari keluarga diatas, biasanya mengadakan arisan keluarga setiap sebulan sekali.
Menurut Robert R. Bell (1979) mengatakan terdapat tiga jenis hubungan keluarga. Ketiga hubungan tersebut antara lain adalah :
1. Kerabat dekat (Conventional Kin)
Kerabat dekat terdiri dari individu yng terikat dalam keluarga melalui hubungan darah,
adopsi, atau perkawinan, seperti suami istri, orang tua – anak, dan antar saudara (Siblings).
2. Kerabat jauh (Discretionary Kin)
Kerabat jauh terdiri atas individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi, atau perkawianan, tetapi ikatan keluarganya lebih lemah dari pada ikatan kerabat dekat. Anggota kerabat jauh kadang – kadang tidak menyadari akan adanya hubungan keluarga tersebut. Hubungan mereka bersifat pribadi dan bukan karena adanya kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya mereka terdiri atas paman – bibi, keponakan, dan sepupu.
3. Orang yang dianggap kerabat(Fictive Kin)
Orang yang disebut sebagai kerabat tidak hanya berdasarkan pada ikatan darah saja. Seseorang dianggap sebagai anggota kerabat karena ada hubungan khusus, misalnya hubungan antar teman akrab.
Hubungan keluarga bisa dilihat dari :
1. Hubungan suami – istri
2. Hubungan orang tua – anak
3. Hubungan antar saudara (Siblings)
Hubungan Suami Istri
Dalam perkembangan sejarah, hubungan antar suami – istri pda kelas menengah berubah dari hubungan yang ada pada keluarga yang institusional ke hubungan yang ada pada keluarga yang companionship( Burgess dan Locke, 1960). Hubungan antar suami – istri pada keluarga yang institusional ditentukan oleh faktor – faktor di luar keluarga seperti adat, pendapat umum, dan hukum. Baru kemudian dalam perkembangan selanjutnya, pengaruh faktor – faktor tersebut mulai berkurang. Hubungan antara suami dan istri lebih didasarkan atas pengertian dan kasih sayang timbal balik serta kesepakatan mereka berdua.
Pola hubungan keluarga institusional oleh Duvall (1967) disebut sebagai pola yang otoriter, sedangkan pola hubungan keluarga companionship sebagai pola yang demokratis.. Perubahan tersebut terjadi karena terjadi perubahan perubahan sosial dalam masyarakat dan keluarga menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Dengan begitu keluarga bisa tetap bertahan. Menurut teori Fungsionalisme Structural Talcott Parsons terdapat skema AGIL[1] yang salah satunya ada konsep Latency (pemeliharaan pola) yang menjelaskan bahwa suatu pola dalam sistem masyarakat haruslah tetep ada dan terpelihara guna mempertahankan budaya – budaya yang ada dalam masyarakat tersebut. Karena keluarga adalah bagian dalam masyarakat maka keluarga harus mempertahankan pola yang ada. Pola hubungan yang otoriter menunjukkan pola hubungan yang kaku. Sebaliknya, dalam pola yng demokratis hubungan suami istri menjadi lebih lentur. Pada pola hubungan keluarga yang kaku, istri yang baik adalah istri yang melayani suami dan anak – anaknya. Sedangkan pola yang lentur, istri yang baik adalah pribadi yang melihat dirinya sebagai pribadi yang berkembang terus.
Kedudukan suami istri dan orang tua ditentukan oleh kewajiban-kewjiban di dalam keluarga maupun masyarakat luas.Dengan menentukan pekerjaan-pekerjaan tertentu pada para lelaki diluar rumah tangga, masyarakat juga ikut menentukan pembagian kerja di dalam keluarga, sama halnya dengan apa yang dikerjakan anak anak dan orang tua di dalam keluarga membentuk tugas tugas apa yang akan diberikan kepada mereka diluar keluarga.Orangtua berkewajiban untuk pertama sekali mensosialisir anak-anak mereka, tetapi dengan demikian pula mempertahankan control sosial atas mereka jika mereka meninggalkan rumah.Kedudukan seseorang dan hubungan sosial akan berubah dalam banyak hal selama masa kehidupannya dan kedua keluarganya ( dari kelahiranya dan kedudukannya sebagai orang tua ).
Kesejajaran antara pekerjaan dan kewajiban peran utama ayah dan ibu dalam keluarga sudah jelas.Sang ibu mulai dengan pengasuhan anak, menanamkan ikatan badania dan rohaniah yang dekat karena kepuasan yang timbal balik.Dan sang ayah adalah tokoh pemimpin, mengatur tenaga kerja keluarga untuk produksi, pertentangan politik atau perang.Ia harus bisa memecahkan persoalan-persoalan yang ada di lingkungan luar,baik sosial atau jasmaniah.Diantara mereka menduduki tingkatan dan pangkat yang berbeda dan mengerjakan pekerjaan yang berbeda-beda, laki-laki dan wanita dengan sendirinya hidup agak bertentangan satu dengan yang lain,apalagi jika keduanya menghadapi persoalan yang sama dengan oriantasi yang berlainan.
Menurut Scanzoni dan Scanzoni (1981), hubungan suami istri dapat dibedakan menurut pola perkawinan yang ada. Mereka menyebut ada empat macam pola perkawinan. Empat Pola perkawinan tersebut adalah:
1. Owner Property
Pola perkawinan ini istri adalah milik suami sama seperti uang dan barang berharga lainnya. Tugas suami adalah mencari nafkah dan istri adalah menyediakan makanan untuk suami dan anak – anaknya dan menyelesaikan tugas – tugas rumah tangga yang lain karena suami telah bekerja untuk menghidupi dirinya dan anak – anaknya. Dalam pola perkawinan seperti ini berlaku norma :
a. Tugas istri adalah untuk membahagiakan suami dan memenuhi semua keinginan dan kebutuhan rumah tangga suami.
b. Istri harus menurut pada suami dalam segala hal.
c. Istri harus melahirkan anak – anak yang akan membawa nama suami.
d. Istri harus mendidik anak – anaknya sehingga anak – anaknya bisa membawa nama baik suami.
Pada pola perkawinan ini istri dianggap sebagai perpanjangan suaminya saja. Ia hanya
merupakan kepentingan, kebutuhan, ambisi, dan cita – cita dari suami. Suami adalah bos dan istri harus tunduk padanya. Bila terjadi ketidaksepakatan, istri harus tunduk padanya. Dengan demikian akan tercipta kestabilan dalam rumah tangga. Tugas utama istri pada pola perkawinan seperti ini adalah untuk mengurus keluarga. Karena istri tergantung secara ekonomi pada suami, maka suami dianggap lebih memiliki kuasa (wewenang). Dari sudut teori pertukaran, istri mendapatkan pengakuan dari kebutuhan yang disediakan suami. Demikian juga dengan status sosial, status sosial istri mengikuti status sosial suami. Istri mendapat dukungan dan pengakuan dari orang lain karena telah menjalankan tugasnya dengan baik.
Istri juga bertugas untuk memberikan kepuasan seksual kepada suami. Adalah hak suami apabila ingin melakukan hubungan seksual dan istri harus menurut meskipun ia tidak menginginkannya. Suami bisa menceraikan istri dengan alasan bahwa istrinya tidak bisa memberikan kepuasan seksual. Bila istri ingin mengunjungi kerabat atau tetangga, istri harus menurut keinginan suami hanya karena normanya seperti itu. Istri tidak boleh memiliki kepentingan pribadi. Kehidupan pribadi wanita menjadi hak suami begitu ia menikah, sehingga seakan – akan wanita tidak punya has atas dirinya sendiri.
Pada masa lalu, dikalangan kelompok priyayi Jawa, suami bisa saja menceraikan istrinya sesuka hatinya bila ia sudah tidak menyukainya lagi. Dalam hal ini, istri tidak mempunyai hak bertanya apalagi protes. Pada pola perkawinan ini, perkawinan lebih didasarkan pada garis keturunan dan pemilikan daripada kasih sayang. Pada pola perkawinan ini, hukuman fisik kerap dilakukan oleh suami terhadap istri agar istri menurut pada suaminya.
2. Head Complement
Pada pola perkawinan ini, istri dilihat sebagai peklengkap suami. Suami diharapkan untuk memenuhi kebutuhan istri akan cinta dan kasih sayang, kepuasan seksual, dukungan emosi, teman, pengertian dan komunikasi yang terbuka. Suami dan istri memutuskan untuk mengatur kehidupan bersamanya secara bersama – sama. Tugas suami masih tetap mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya dan tugas istri masih tetap mengatur rumah tangga dan mendidik anak – anak. Tetapi suami dan istri kini bisa merencanakan kegiatan bersama untuk mengisi waktu luang.
Suami juga bisa membantu istri disaat dibutuhkan, misalnya mencuci piring dan menidurkan anak, bila suami mempunyai waktu luang. Tugas utama istri yang utama adalah tetap mengatur rumah tangga dan memberikan dukungan pada suami sehingga suami bisa mencapai kemajuan dalam pekerjaannya. Suami mempunyai seseorang yang melengkapi dirinya. Norma dalam perkawinan ini masih sama seperti owner property, kecuali dalam hal ketaatan. Dalam perkawinan owner property, suami bisa menyuruh istrinya untuk mengerjakan sesuatu dan istri harus melakukannya. Tetapi dalam perkawinan head – complement suami akan berkata, “Silakan kerjakan.” Sebaliknya, istri juga berhak untuk bertanya, “Mengapa” atau “Saya rasa itu tidak perlu.” Disini suami tidak memaksakan keinginannya. Tetapi keputusan terakhir tetap ada di tangan suami dengan mempertimbangkan keinginan istri sebagai pelengkapnya. Dalam kondisi tertentu, istri bisa bekerja dengan izin suami. Di segi ekspresif, ada perubahan nilai dimana suami dan istri manjadi pacar dan pacar. Mereka diharapkan untuk saling memenuhi kebutuhan, tidak hanya semata – mata dalam hal penghasilan, melakukan pekerjaan – pekerjaan rumah tangga, kebutuhan seksual dan anak – anak. Mereka juga diharapkan untuk bisa menikmati kehadiran pasangannya sebagai pribadi, menemukan kesenangan dari kehadiran itu, saling percaya, dan berbagi masalah, pergi dan melakukan kegiatan bersama – sama. Pola perkawinan ini secara sosial istri menjadi atribut sosial suami yang penting, dalam artian istri harus bisa mencerminkan posisi dan martabat seorang suami dalam dalm tingkah laku social juga dalam penampilan fisik secaa material. Misalnya, seorang istri pejabat harus bisa menjadi panutan bagi para istri anak buah suaminya. Contohnya dalam organisasi Dharma Wanita, biasanya ketua dharma wanita adalah seorang istri dari ketua organisasi itu yang bersangkutan. Sebaliknya tidak ada ketua Dharma Wanita yang diketuai oleh seorang suami dari seorang istri yang menjadi pemimpin dari oganisasi yang bersangkutan. Wanita juga harus selalu menampilkan dirinya sesuai status suaminya, misalnya dari pakaian, rambut, sepatu, perhiasaan dan lain-lainnya. Daam hubunga ini, kedudukan istri tergantung pada posisi suami juga sebagai kepala keluarga. Bila posisi meningkat, istri juga ikut meningkat kdudukannya. Bila suami dipindahkan tugasnya, istri serta anakpun mengikutinya.
Pada pola perkawinan seperti ini, terdapat dukungan penuh dari istrinya terhadap kesuksesan suaminya. Usaha istrinya seperti ini biasanya sering kurang dihargai karena tidak terlihat, beda dengan istri yang bekerja yang dapat menghasilkan uang sendiri. Papanek (1979) seperti yang dikutip oleh Thompson dan Walker (1989) yang menggambarkan istri itu nilai yang pantas, dan terlibat dalam politics of status maintenance.
3. Senior Junior Partner
Pada pola perkawinan seperti ini, posisi istri tidak lebih dari sebagai pelengkap suami, tetapi juga menjadi teman. Perubahan ini terjadi disebabkan karna istri ikut berperan dalam perekonomian keluarga meskipun pencari nafkah utama tetaplah sang suami. Dengan penghasilan yang di dapatnya sendiri, istri tidak sepenunya tergantung pada suami untuk memenuhi hidupnya sendiri. Disini istri ikut memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Menurut teori pertukaran, istri mendapatkan kekuasaan dan suami kehilangan kekuasaan. Akan tetapi suami masih memiliki kekuasaan yang lebih besar dikarenakan posisinya tetap sebagaipencari nafkah utama dalam keluarga. Artinya, penghasilan istri tidak boleh lebih besar dari suami. Dengan begitu suami juga menentukan status sosial istri juga anaknya. Ini berarti, jika istri yang dulu berasal dari status social yang lebih tinggi, akan turun status sosialnya karena status sosialnya kini mengikuti status sosial suaminya.
Ciri pekawinan seperti ini banyak ditemukan pada saat ini. Istri dapat melanjutkan sekolah asal sekolah atau mendahulukan karir suami sedangkan istri dapat memulai karirnya setelah suaminya sukses. Pola perkawinan seperti ini istri harus mengorbankan karirya demi kesuksesan suaminya. Di beberapa kalangan institusi pemerintahan, suami harus menjalankan tugas di daerah-daerah sebelum dapa dipromosikan ke pangkat yang lebih tinggi. Demi karir seperti inilah istri sering berkorban terhadap karirnya.
4. Equal Partner
Pola perkawinan seerti ini, tidak adanya posisi yang leih tinggi maupun rendah diantara suami maupun istri. Istri mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dalam mengembankan diri sepenuhnya dan melaksanakan tugas-tugas rumah tangga. Pekerjaan suami juga sama pentingnya dengan pekerjaan istri. Dengan demikian istri bisa juga menjadi penafkah utama, artinya penghasilan istri bisa lebih besar dari penghasilan suami. Dalam hubungan seperti ini, alasan wanita bekerja berbeda dengan pola perkawinan yang telah dijelaskan sebelumnya. Karena disini wanita sekolah untuk bekerja dengan alasan agar mandiri sepenuhnya.
Pola perkawinan ini, norma yang ada dalam keluarga yaintu suami ataupu istri memiliki kesempatan untuk berkembang baik dalam pekerjaan juga dalam segala hal. Segala keputusan diambil secara mufakat antara keduanya (suami-istri), saling mempertimbangkan kebutuhan dan kepuasan antara keduanya. Istri mendapatkan pengakuan dari orang lain karena kemampuannya bukan dikaitkan karena suaminya. Pola perkawinan seperti ini, perkembangan individu sebagai pribadi sangat diperhatikan.
Hubungan Orang Tua – Anak
Suami istri pada saat ini berbeda dengan masa lalu. Pada saat ini suami istri bebas menentukan untuk memiliki cepat mempunyai anak atau tidak. Dengan adanya alat kontrasepsi pada saat ini suami istri bebas menentukan kapan menentukan untuk punya anak dan berapa jumlah anak yang ingin mereka miliki.
Kebijakan dari pemerintah pun juga mendorong seseorang untuk memiliki anak lebih sedikit. Misalnya saja di China, pemerintah China membatasi jumlah anak. Pasangan suami istri hanya boleh memiliki satu orang anak saja. Apabila memiliki anak lebih dari satu, suami istri harus membayar denda kepada pemerintah. Disamping itu anak kedua, ketiga, keempat dan seterusnya tidak akan mendapat tunjangan dari pemerintah. Di Indonesia ada peraturan yang mengatur pegawai negeri atau kantor – kantor hanya memberi tunjangan sampai anak ketiga dan bahkan kedua saja, juga dapat mendorong orang untuk mempunyai anak tidak terlalu banyak. Dengan adanya program KB di Indonesia sejak 1969, jumlah anak yang dilahirkan dalam keluarga juga mulai berkurang. Dan kini pendapat yang menyatakan “banyak banyak rejeki” telah mulai menghilang. Selain adanya program KB yang menekan jumlah kelahiran, masalah ekonomi juga menjadi faktor penekan kelahiran anak. Biaya hidup yang semakin melambung tinggi membuat orang untuk berfikir dua kali untuk memiliki anak banyak. Biaya hidup tersebut tidak hanya terbatas pada pangannya saja, melainkan juga meliputi biaya sandang, pendidikan, hiburan dan masih banyak yang lainnya.
Menurut Houseknecht (1987), dari berbagai keluarga yang tidak memiliki anak ada berbagai alasan yang dikemukakan oleh mereka yang memilih untuk tidak memiliki anak diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Bebas dari tanggung jawab memelihara anak dan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan diri.
2. Memiliki kepuasan dalam perkawinan yang lebih besar
3. Pertimbangan akan karir wanita
4. Keuntungan secara finansial
5. Pertimbangan akan pertumbuhan penduduk
6. Umumnya tidak suka pada anak
7. Keragu – raguan akan kemampuan untuk mendidik anak
8. Kemampuan akan aspek fisik anak
9. Keragu – raguan akan adanya anak di tengah – tengah kondisi dunia sekarang ini
Hubungan Antar Saudara (Siblings)
Hubungan antar saudara jarang dibahas dalam literatur tentang keluarga. Hal tersebut terjadi karena adanya pandangan bahwa kontak yang lebih sering antara anak dewasa dan orang tua mereka, bisa disebut sebagai penyebabnya (Adams, 1971). Padahal, secara potensial hubungan ini berlangsung paling lama dibandingkan dengan hubungan antarmanusia yang lain, karena hubungan antarsaudara terjadi sejak seorang adik lahir sampai salah satu dari mereka meninggal dunia (Cicirelli, 1980). Kebanyakan penelitian tentang saudara (siblings) berkaitan dengan masa kanak – kanak atau usia lanjut (lee, Mancini dan Maxwell, 1990).
Hubungan antarsaudara bisa dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, jumlah, jarak kelahiran, rasio saudara laki terhadap saudara perempuan, umur orang tua pada saat mempunyai anak pertama, dan umur anak pada saat mereka keluar dari rumah. (Schvanneveldt dan Inghier, 1979).
Kedekatan emosi, harapan aka nada tanggung jawab saudara, da konflik antara saudara (siblings), dianggap sebagai factor yang penting dalam interaksi antar mereka (Lee, Mancini dan Maxwell, 1990). Kedekatan emosi termasuk adanya rasa ingin berbagi pengalaman, kepercayaan, perhatian, dan perasaan senang dalam hubungan tertentu. Scott (1990) mengutip beberapa penelitian yang mengemukakan bahwa secara emosi hubungan antar saudara laki-laki maupun perempuan pada usia lanjut lebih erat dibandingkan ketika mereka masih pada usia sebelumnya. Ini dikarenakan besarnya kebutuhan pada usia lanjut, perasaan yang kuat sebagai keluarga, perubahan persepsi karena perbedaan usia, ini merupakan beberapa alasan yang disebutkan untuk membedakan kedekatan emosi tersebut. Pada masa usia lanjut, saudara penting untuk memberikan dukungan dan perhatian.
Noberini, Mosatche dan Brady seperti yang dikutip oleh Scott (1990) menemukan bahwa bahwa kematian salah satu orang tua menyebabkan kegiatan bersama antarsaudara dan persepsi tentang kebersamaan dengan saudara terdekat menjadi meningkat.
Adanya tanggung jawab saudara dapt dilihat dari peranan kakak, terutama kakak perempuan terhadap adik mereka. Di banyak tempat yang ada di Indonesia, kakak perempuan membantu ibu mengsuh adik. Peran itu biasanya dilakukan sejak ang kakak berumur 7-9 tahun (White, 1982). Atau bila usia kakak jauh di atas adiknya, biasanya mereka membiayai sekolah adiknya, bahkan member tumpangan pada adiknya bila mereka sudah memiliki rumah sendiri. Sehingga peran kakak dalam hal ini dapat dikatakan menggantikan peran orang tuanya.
Pada masyaraat yang menganut sistem matrilinieal, hubungan antarsaudara, khususnya antarsaudara laki-laki dan perempuan, menjadi penting karena saudara laki-laki bertanggng jawab atas kesejahteraan hidup anak-anak dri saudara perempuannya. Paman atau “mamak” menjadi ayah social bagi kemenakan dari saudara perempuannya.
Salah satu factor yang mempengaruhi kedekatan hubungan antara saudara adalah komposisi gender. Berbagai penelitan menunjukkan bahwa hubungan antar dua (dyad) saudara wanita di usia lanjut lebih kuat dibandingkan dengan hubungan antar dua (dyad) saudara pria. Bahkan hubungan antar dua (dyad) yang mengandung dua unsur satu saudara wanita akan lebih kuat daripada hubungan (dyad) antarsaudara pria saja (Scott, 1990). Lebih kuatnya hubungan antarsaudara wanita dibandingkan antarsaudara pria ini disebabkan karena didasarkan pada asumsi bahwa wanita diharapkan untuk lebih memperhatikan masalah-masalah yang ada dalam keluarga, termasuk merawat anak, melayani suami, merawat orang tua mereka yang sudah usia lanjut, dan juga menjaga hubungan dengan saudara mereka. Harapan terhadap wania untuk membina hubungan antar anggota keluarga sudah ditanamkan sejak kecil. Kaum pria dianggap sebagai orang yang berorientasi pada pekerjaan, maupun mengendalikan diri, dan siap terjun ke dalam persaingan dunia. Sehingga para pria pada umumnya tidak mampu menunjukkan emosinya dan takut emosinya terluka. Oleh karena itu lebih sulit bagi mereka untuk membina hubungan yang mendalam dengan orang lain, khususnya dengan sesame pria karena biasanya hubungan antar pria dibangun atas dasar kompetisi (Keadilan, 1993).
Pada masa yang akan mendatang, studi tentang hubungan antarsaudara perlu memperhatikan jumlah anggota keluarga yang berubah , dikarenakan bsaranya jumlah anggoa dalam keluarga akan mempengaruhi hubungan antarsaudara di usia lanjut mereka (Cicirelli, 1980, Scott, 1990). Jumlah dan proporsi orang lanjut usia di dunia semakin meningkat. Di Indonesia, pada tahun 1971 penduduk berusia 55 tahun ke atas berjumlah sekitar 7,5 juta jiwa ( BPS, 1971). Pada tahun 1980 jumlh mereka meningkat menjadi 11,4 juta jiwa (BPS, 1990). Dalam tahun 1990 jumlah mereka menjadi 16,1 juta jiwa (BPS, 1990).
Jika pasangan suami istri yang tetap hidup pada usia lanjut dan tidak mempunyai anak atau hanya mempunyai satu sampai dua anak tidak akan bisa membantu orang tua di usia lanjut mereka, baik sebagai teman, memberi dukungan secara psikologis, atau dalam bentuk bantuan lainnya. Karena jumlah orang yang berusia lanjut semakin meningkat dan mereka mempunyai jumlah saudara lebih besar daripada jumlah anak yang mereka miliki. Hubungan antarsaudara diharapkan akan menjadi lebih penting. Karena hubungan tersebut dapat berbentuk saling tukar menukar bantuan diantara mereka.
Keterikatan antara Orang tua dengan anak
Setiap anak dan ibu menjalin hubungan emosional yang erat segera setelah kelahiran bayi, tetapi dunia anak cepat berkembang mencakup lain lainnya di dalam keluarga.Pandangan analitik psiko analitik kuno,bahwa anak kecil akan mengakhiri masa kanak kanaknya dengan mengikatkan diri secara emosional pada orang tua yang berlainan jenis.Seperti halnya anak laki laki secara emosional mengikatkan pada ibunya sedangkan perempuan mingiktkan diri pada ayahnya.Tetapi norma norma sosial, akhirnya mencampuri dalam persoalan itu,Jadi menurut norma tersebut,laki-laki harus menyesuaikan diri dengan ayahnya, peran model yang sesuai baginya, jika ia ingin menduduki status laki laki secara berhasil.Asumsi kedudukan kedewasaan menuntut laki laki itu harus relative independen, berkuasa dan berperan serta dalam berinteraksi sosial,dan dapat melaksanakan tugasnya sebagai kepala keluarga.
Kedua orang tua menanamkan hubungan kasih denagn anak-anak mereka, tetapi mempergunakan ikatan ketergantungan emosional ini untuk memaksa segera bertahap anak anak ke arah berdiri sendiri.Mereka setengah terlibat untuk memaksakan anak untuk berkembang agar ia dapat meninggalkan keluarganya.Hubungan hubungan lainnyapun mengarah ke jurusan yang sama, karena hubungan, cinta remaja atau dewasa membantu sang pribadi pada banyak masyarakat untuk terjun ke dalam dunia.Pada banyak masyarakat, kelompok sabaya masa remaja juga membantu menetapkan norma norma non-familial, padahal masa si anak muda menyesuaikan diri dan dengan demikian dapat agak melepaskan diri dari kelurga.Memang mungkin bahwa pada setiap masyarakat mana pun dimana masyarakat yang lebih luas menuntut atau menetapkan norma-norma yang sangat berbeda dari pada apa yang ada dalam keluarga.
Dalam masa perubahan sosial, masyarakat dimana sang anak dibesarkan, tentu mempunyaio perbedaan dengan situasi dimana orangtuanya dibesarkan. Orang tua sering menggunakan pengalaman masa kecilnya sebagai patokan dan petunjuk, tetapi banyak diantaranya yang telah tidak sesuai, dan standart-standartnya sudah tidak berlaku lagi. Jika pun keadaan tidak berubah, kedua kelompok orang itu, anak-anak dan orangtua, berada pada titik berbeda antar kehidupan mereka, dan akan berbeda pandang mengenai banyak persoalan dan kesempatan. Dalam suatu masyarakat yang komplek, terutama pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan cepat, seorang remaja mengalami lebih banyak norma-norma yang saling bertentangan dan kewibawaan yang menyainginya dengan setiap langkah yang diambilnya kedunia luar. Ia dapat, jika ia mau, menggunakannya (dan setiap anak belajar menggunakannya waktu tawar menawar dengan orantuanya) yang membenarkan tingkah laku yang sesuai baginya dan tentu saja cara-cara itu sering bertentangan dengan keinginan orangtuannya. Memang orangtua dan remaja berada pada titik yang berbeda pada lajur waktu yang panjang penuh perubahan sosial yang cepat, dan pada titik yang berbeda dalam daur kehidupan mereka, sehingga adanya benturan perbedaan tak dapat dihindarkan.
Peran-peran orangtua mencakup kewibawaan dan keakraban. Orangtua atau anak mungkin dapat memperoleh keinginannya melalui kasih, tetapi masing-masing tetap harus kembali kepada norma-norma yang telah diterima masyarakat oleh karena kebutuhan-kebutuhan lain mereka (umumnya sang anak memerlukan kewibawaan untuk menunjangnya, untuk membatasinya) dan masyarakat. Dengan masuknya remaja kedalam kedewasaan, ia terus-menerus akan menjadi ancaman bagi wibawa orangtuanya, karena proses pematangannya itu sendiri, betapapun ia mengasihi mereka.
1. TUMBUHKAN RASA AMAN DAN NYAMAN
Kelewat lengket dengan orang tua sebetulnya merupakan ungkapan rasa tidak aman. Rasa ini umumnya muncul pada saat anak berada di luar rumah. Saat itu ia merasa harus terpisah dari keluarganya, terutama ayah dan ibu.Agar anak merasa aman, orang tua perlu memberi penjelasan sederhana yang mudah dimengerti, contohnya, "Om ini baik, kok. Dia juga pintar nyanyi dan bikin mainan lucu-lucu. Jadi, kamu enggak perlu takut." Selain aman, tumbuhkan pula rasa nyaman. "Kenapa takut? Kan, Mama ada di sini, di samping Adik," misalnya. Jangan lupa, tersenyumlah kepadanya agar tumbuh perasaan nyaman. Rasa aman dan nyaman merupakan modal penting dalam melakukan berbagai aktivitas. Dengan merasa tenteram ia bisa bebas bermain yang berarti memudahkannya melepaskan diri dari kelekatan dengan orang tua.
2. BINALAH RASA PERCAYA DIRI.
Rasa percaya diri erat kaitannya dengan kemampuan menjadi mandiri. Jika diteruskan, kemandirian adalah lepasnya ketergantungan anak dari orang tua. Pupuklah rasa percaya diri anak dengan memberinya kebebasan dan kepercayaan melakukan segala sesuatu, asalkan tidak berbahaya.
Contohnya, biarkan anak memutuskan sendiri hari ini akan memakai baju yang mana. Beri kesempatan padanya untuk mengenakan baju dan sepatunya sendiri, bahkan menyisir rambut. Melalui kesempatan dan kebebasan yang kita berikan, rasa percaya dirinya akan terpupuk. Dari hari ke hari ia jadi semakin yakin dapat melakukan tugas-tugas tadi. Bila kebiasaan ini terpupuk dengan baik, nantinya anak dapat memutuskan apakah dia memang bisa dan harus melakukan sesuatu atau tidak. Jangan lupa, pengalaman pertama yang dirasa menyenangkan dan memberi kepuasan pasti akan mendorong anak untuk melakukannya kembali.
3. HARGAI ANAK
Jangan pelit memberi penghargaan yang pas. Jangan pula menghubung-hubungkannya dengan pemberian materi. Pujian, belaian, ucapan kata-kata sayang dan hal-hal sejenis sudah cukup menumbuhkan rasa percaya diri anak. Penghargaan atas hasil yang dicapai anak juga merupakan fondasi bagi bangunan percaya dirinya. "Setiap individu, termasuk anak pasti ingin mendapat penghargaan atas apa pun yang sudah dilakukannya. Termasuk bila masih terdapat kesalahan di sana-sini." Pada anak yang merasa dihargai akan terbentuk konsep diri yang positif. Nah, konsep diri seperti itulah yang nantinya akan mendukung perilaku-perilaku positif.
4. KELELUASAAN BERMAIN
Biarkan anak bebas bermain bersama teman-temannya. Jangan lelah mendorongnya agar tertarik bermain bersama teman-teman. "Lihat, tuh. Kayaknya asyik banget, ya, main bola dengan teman-teman. Ayo, ikut main sana." Memperbanyak hubungan anak dengan dunia luar, baik dengan teman-teman sebaya maupun dengan yang beda usia akan menguatkan rasa percaya dirinya. Buang jauh sikap overprotektif yang hanya akan merusak rasa percaya dirinya. Larangan ini-itu hanya akan mematikan kreativitas anak yang selanjutnya memperkuat rasa ketergantungan pada orang tua. Nah, agar anak bisa diarahkan melakukan segala sesuatu sendiri, mulailah dari hal-hal kecil yang kemudian meningkat ke hal-hal besar.
Bila dari awal rasa percaya diri anak relatif rendah, sementara ia juga kurang atau bahkan tidak mendapat stimulasi sama sekali, bukan mustahil akan makin sulit meminta anak tampil bersama orang lain. Tak heran, dalam melakukan aktivitas apa pun ia hanya mau bersama-sama dengan orang tua saja.
5. PERKENALKAN LINGKUNGAN DI LUAR RUMAH
Buka wawasannya dan beri ia alternatif kegiatan yang melibatkan banyak orang. Semisal mengajaknya ke rumah tetangga atau kerabat yang memungkinkannya bermain bersama kawan sebaya. Anak yang sudah memiliki rasa percaya diri umumnya akan lebih mudah diajak berkenalan dengan lingkungan luar rumah. Bermodal rasa percaya diri, anak lebih mampu diharapkan menekan rasa takut dan mindernya saat berada di lingkungan yang lebih luas. Kesempatan untuk mengenal lingkungan yang lebih luas inilah yang sepatutnya diberikan orang tua.
6. HINDARI INTERVENSI
Ketika anak mengalami masalah, orang tua sebaiknya jangan langsung menolong, apalagi mengambil alih semua permasalahan anak. Pola asuh semacam ini hanya akan membuatnya kurang memiliki citra diri positif dan semangat juang.
Pada anak yang mengalami masalah kelekatan, sikap orang tua yang ingin tampil sebagai dewa penolong dengan gemar main potong hanya akan menguatkan kelekatannya. Menghadapi masalah apa pun, anak merasa tak perlu berusaha. Soalnya, ia tahu persis orang tuanya akan segera turun tangan. Sikap ini kian mempertegas ketergantungannya.
Boleh jadi, intervensi orang tua dilakukan atas dasar rasa sayang. Tujuannya, membebaskan anak dari masalah. Namun kenyataannya, sikap seperti ini sama sekali tidak menguntungkan anak. Sebaliknya, kalau orang tua memang sayang, latihlah ia menolong diri sendiri. Mulailah dari hal-hal sederhana, seperti menyuap makanan sendiri. Yang tidak kalah penting, janganlah mudah menyerah. Upaya yang merupakan salah satu dari tahapan belajar ini memang butuh waktu yang panjang disamping kesabaran.
7. ARAHKAN, BUKAN MALAH MEMOJOKKAN
Jika anak keliru atau tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya, barulah orang tua boleh ikut nimbrung. Itu pun sebatas memberi arahan dan bukan merampas kesempatan. Hanya saja, arahan yang diberikan haruslah disampaikan secara bijak. "Lo, kok, pegang sendoknya terbalik. Nasinya jadi tumpah, deh. Harusnya kamu pegang seperti ini (sambil mencontohkan) lalu masukkan ke mulut."
Penjelasan bijak yang bersifat mengarahkan akan sangat membantu dalam memperbaiki kesalahan tanpa membuat ketergantungannya jadi semakin kuat. Hindari pula sikap maupun kata-kata yang bersifat memojokkan, apalagi yang bernada menghujat. Kata-kata seperti itu hanya akan membuatnya merasa rendah diri dan takut mencoba atau melakukan sesuatu sendiri. Inisiatifnya surut ke batas minimum.
Kala mendapat tugas apa pun, ia akan selalu kembali ke orang tuanya tanpa berusaha hanya karena ia takut salah, dicemooh, dan dipojokkan. Yang lebih celaka, anak akan merasa orang tuanya selalu benar, sementara dirinya selalu salah, yang akhirnya kian menyulut ketergantungan.
8. JANGAN KELEWAT MENUNTUT
Orang tua, sebaiknya jangan terlalu menuntut anak untuk bisa melakukan apa saja sesuai standar tertentu. Misalnya, menuntut anak mengancing baju sendiri dengan sempurna. Bila tuntutan-tuntutan semacam ini dipaksakan kepadanya, sementara kemampuannya belum tumbuh dengan baik, hal itu hanya akan memunculkan konsep diri yang negatif. Padahal, agar bisa berkembang secara optimal, dibutuhkan suasana kondusif yang bisa memunculkan semua potensi anak.
Hubungan Antara Individu dengan Keluarga dan Masyarakat
A. Individu
Kata “individu” berasal dari kata latin, yaitu individiuum, “berarti “yang tak terbagi”. Jadi, merupakan suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Dalam ilmu sosial paham individu menyangkut tabiatnya dengan kehidupan jiwanya yang majemuk, memegang peranan dalam pergaulan hidup manusia. Dalam ilmu sosial, individu menekankan penyelidikan kepada kenyataan – kenyataan hidup yang istimewa, yang tak seberapa mempengaruhi kehidupan manusia.
B. Keluarga
Keluarga diartikan sebagai suatu satuan sosial terkecil yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial, yang ditandai adanya kerja sama ekonomi. Fungsi keluarga adalah berkembang biak, mensosialisasi atau mendidik anak, menolong, melindungi atau merawat orang – orang tua (jompo).
1) Pengaturan Seksual
Dapat dibayangkan kekacauan yang terjadi apabila tidak ada pengaturan seksual. Misalnya anak tidak mempunyai ayah yang sah, atau ayah yang salah, maka kewajiban – kewajiban itu menjadi kacau atau tidak dijalankan, atua bertentangan dengan kewjaiban – kewajiban yang telah ditetapkan.
William J. Goode (1983) telah menyusun jenis – jenis penyimpangan sosial pengaturan seksual menurut tingkat ketidaksetujuan sosial atau menurut ketidaksetujuan sosial atau menurut ketidakseimbangan dalam struktur sosial. Jenis – jenis penyimpangan adalah :
*Hidup bersama atas dasar suka sama suka (“Kumpul Kebo”).
*Pergundikan.
*Hubungan seorang bangsawan dengan gundiknya (zaman pra industri masyarakat Barat) atau raja dengan selir.
*Melahirkan anak pada masa tunangan.
*Perzinahan, sang lelaki sudah menikah.
*Kehidupan bersama seorang yang bertarak (celibat, pastoral, biarawan, menahan hawa nafsu) dengan orang lain yang juga hidup bertarak atau dengan yang tidak bertarak.
*Perzinahan, sang wanita sudah menikah.
*Perzinahan, kedua – duanya sudah menikah.
*Kehidupan bersama seorang wanita kasta tingi dengan lelaki kasta rendah.
*Incest (hubungan seksual dalam satu keluarga), saudara lelaki dengan saudara perempuan.
*Incest, bapak dengan anak perempuan
*Incest, ibu dengan anak laki – laki.
2) Reproduksi
Berkembangnya teknologi kedokteran, selain memberikan dampak positif bagi program keluarga berencana, dapat pula menimbulkan masalah terpisahnya kepuasan seksual dengan pembiakan. Kehadiran anggota baru dapat dipandang sebagai penunjang atau malapetaka, bagi masyarakat tani dapat dikatakan menunjang, terutama dalam penyediaan tenaga kerja.
3) Sosialisasi
Hidup manusia tidak pernah lepas dari budaya untuk bersosialisasi bersama orang lain dan masyarakat. Dan kebudayaan yang ada di seluruh penjuru dunia tercipta dari hubungan sesama yang tidak lain bertujuan memperbaiki pandangan,akhlak dan perilaku kita terhadap satu sama lain dalam kehidupan bersama. Faktor-faktor yang dapat mewujudkan kebudayaan seperti itu adalah : dengan memperdalam kembali tentang kebudayaan lingkungan sosial dimana kita hidup dan berada, mulai dari lingkungan keluarga awal yang paling dekat dengan kita,sampai yang lebih luas, seperti lingkungan masyarakat,Bangsa dan Negara. Selain itu, perlu juga melihat silsilah agama yang dapat membangun keterlibatan sosial dari setiap individu , yang terwujud dalam berbagai bentuk interaksi sosial.Manusia sebagai makhluk dalam evolusinya lebih bergantung kepada kebudayaan, dan bukan kepada naluri atau insting.
4) Pemeliharaan
Masa kehamilan yang cukup panjang disertai masa kritis dan tugas menyusui berlarut – larut, membuat ibu yang sedang hamil perlu perlindungan dan pemeliharaan.
5) Penempatan Anak di dalam Masyarakat
Jangan menentukan penempatan sosial seorang anak, pengaturan wewenang membantu menentukan kewajiban peranan orang – orang dewasa terhadap sang anak. Anak merupakan simbol berbagai macam hubungan peran yang penting di antara orang – orang dewasa.
6) Pemuas Kebutuhan Perseorangan
Hubungan suami – istri dibentuk oleh jaringan teman – teman dan anak di tempat mereka hidup, tetapi teman tidak dapat menggantikan kepuasan hubungan suami – istri dengan anaknya.
7) Kontrol Sosial
Keluarga yang berfungsi dalam sosialisasi, yaitu bagi setiap individu pada saat dia tumbuh menjadi dewasa, memerlukan suatu sistem nilai sebagai semacam tuntutan umum untuk mengarahkan aktivitasnya dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya.
C. Masyarakat
Dalam bahasa Inggris masyarakat disebut society, asal katanya socius yang berarti kawan. Adapun kata “Masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu syirk, artinya bergaul. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk – bentuk aturan hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai perseorangan, melainkan oleh unsur – unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan kesatuan. Para ahli seperti Maclver, J.L. Gillin, dan J.P. Gillin sepakat, bahwa adanya saling bergaul dan interaksi karena mempunyai nilai – nilai, norma – norma, cara – cara, dan prosedur yang merupakan kebutuhan bersama sehingga masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berintaraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu, yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Untuk arti yang lebih khusus masyarakat disebut pula kesatuan sosial, mempunyai ikatan – ikatan kasih sayang yang erat. Mirip jiwa manusia, yang dapat diketahui, pertama melalui kelakuan dan perbuatannya sebagai penjelmaannya yang lahir, kedua melalui pengalaman batin dalam roh manusia perseorangan sendiri. Bahkan memperoleh “superioritas”, merasakan sebagai sesuatu yang lebih tingi nilainya daripada jumlah bagian – bagiannya. Sesuatu yang “kokoh-kuat”, suatu perwujudan pribadi bukan di dalam, melainkan luar, bahkan di atas kita.
D. Interaksional Antar Individu dengan Keluarga dan Masyarakat
Adanya aspek organis-jasmaniah, psikis-rohaniah, dan sosial kebersamaan yang melekat pada individu, mengakibatkan bahwa kodratnya ialah untuk hidup bersama manusia lain. Pada hewan, kolektivitas bersifat naluriah, pada manusia, di samping rohaniah juga karena nalar, menimbulkan kesadaran membagi peranan dalam hidup berkelompok sehingga perjuangan hidup menjadi ringan. Menurut Durkheim kebersamaannya dapat dinilai sebagai “mekanistis”, merupakan solidaritas “organis”, yaitu atas dasar saling mengatur. Selain kepentingan individual, diperlukan suatu tata hidup yang mengamankan kepentingan komunal demi kesejahteraan bersama. Perangkat tatanan kehidupan bersama menurut pola tertentu kemudian berkembang menjadi apa yang disebut “pranata” sosial” atau abstraksi yang lebih tinggi lai, dinamakan “kelembagaan” atau “institusi”.
Individu barulah individu apabila pola perilakunya yang khas dirinya itu diproyeksikan pada suatu lingkungan sosial yang disebut masyarakat. Kekhasan atau penyimpangan dari pola perilaku kolektif menjadikannya individu, menurut relasi dengan lingkungan sosialnya yang bersifat majemuk serta simultan. Dari individu dituntut kemampuan untuk membawa dirinya secara konsisten, tanpa kehilangan identitas nilai etisnya. Relevan dengan relasi – relasi sesaat antara dirinya dengan berbagai perubahan lingkungan sosialnya. Satuan – satuan lingkungan sosial yang melingkari individu terdiri dari keluarga, lembaga, komunitas, masyarakat, dan nasion. Individu mempunyai “karakter”, maka satuan lingkungan mempunyai “karakteristik” yang setiap kali berbeda fungsinya, struktur, peranan, dan proses – proses yang berlangsung di dalam dirinya. Posisi, peranan dan tingkah lakunya diharapkan sesuai dengan tuntutan setiap satuan lingkungan sosial dalam situasi tertentu.
A. Hubungan Individu dengan Keluarga
Individu memiliki relasi mutlak dengan keluarga. Ia dilahirkan dari keluarga, tumbuh dan berkembang untuk kemudian membentuk sendiri keluarga batinnya. Terjadi hubungan dengan ibu, ayah, dan kakak – adik. Dengan orang tua, dengan saudara – saudara kandung, terjalin relasi biologis yang disusul oleh relasi psikologis dan sosial pada umumnya.
Peranan-peranan dari setiap anggota keluarga merupakan resultan dari relasi biologis, psikologis, dan sosial. Relasi khusus oleh kebudayaan lingkungan keluarga dinyatakan melalui bahasa (adat-istiadat, kebiasaan, norma-norma, bahkan nilai-nilai agama sekalipun). Masalah kekerabatan seperti adanya marga dan keluarga besar banyak dibahas dalam antropologi, yang menunjukkan kelakuan dan tindakan secara tertib dan teratur dalam berbagai deferensi peran dan fungsinya melalui proses sosialisasi atau internalisasi.
B. Hubungan Individu dengan Masyarakat
Masyarakat merupakan satuan lingkungan sosial yang bersifat makro.Aspek teritorium kurang ditekankan. Namun aspek keteraturan sosial dan wawasan hidup kolektif memperoleh bobot yang lebih besar. Kedua aspek itu munjuk kepada derajat integrasi masyarakat karena keteraturan esensial dan hdup kolektif ditentukan oleh kemantapan unsur – unsur masyarakat yang terdiri dari pranat, status, dan peranan individu. Variabel – variabel tersebut dipakai dalam mengkaji dan menjelaskan fenomena masyarakat menurut persepsi makro.
Sifat makro diperoleh dari kenyataan, bahwa masyarakat pada hakiaktnya terdiri dari sekian banyak komunias yang berbeda, sekaligus mencakup berbagai macam keluarga, lembaga dan individu – individu.
Hubungan individu dengan masyarakat dalam persepsi makro lebih bersfiat sebagai abstraksi. Kejahatan dalam masyarakat makro merupakan gejala yang menyimpang dari norma keteraturan sosial, sekaligus dapat berperan sebagai indikator tinggi – rendahnya keamanan lingkungan untuk penghuni dan golongan masyarakat dari status tersebut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ada tiga hubungan dasar manusia. Yang pertama adalah hubungan antara suami dan istri; kemudian hubungan antara orangtua dan anak, lalu hubungan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan. Segala jenis hubungan lainnya berdasarkan pada ketiga hubungan ini. Anak-anak biasanya mengikuti teladan orangtua.
Keluarga merupakan sistem multi generasi. Daur hidup keJuarga bukanlah satu-satunya cara dimana dimensi waktu dianggap penting dalam memahami keluarga. Sebuah keluarga mungkin terlihat konsisten dalam dua atau tiga generasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh generasi yang laku, oleh karena itu penting untuk mengetahui keterkaitan ataupun perbedaan dengan mereka. Sistem nilai, harapan, kepercayaan, rahasia dan masalah yang belum terselesaikan penting untuk diketahui, sebelum hal-hal tersebut diteruskan ke generasi mendatang. Hal ini akan memberikan pengaruh yang besar bagi keluarga masa kini dan para anggotanya. Semua orang, baik secara sadar maupun tidak sadar terperangkap dalam sebuah sistem keluarga. Hal ini mempengaruhi pandangan seseorang akan siapa dirinya, bagaimana mereka berpikir, dan berkomunikasi, serta bagaimana mereka memandang dirinya dan orang lain. Hal tesebebut berpengaruh terhadap apa yang sedang dan akan mereka kerjakan, dengan siapa mereka akan hid up, jatuh cinta dan menikah. dan pada akhimya akan mempengaruhi bagaimana mereka memilih struktur keluarga yang baru.
Hubungan keluarga dengan masyarakat sangatlah erat.Awal dari masyarakat pun dapat kita katakana berasal dari hubungan antar individu, kemudian yang lebih membesar lagi menjadi satu kelompok besar, orang-orang tersebut dinamakan masyarakat.Jadi keluarga dapat dikatakan inti dari masyarakat, di mana setiap keluarga dapat menganggap dirinya adalah sentral dari seluruh masyarakat. Karena keluarga ini pada hakikatnya mempunyai hubungan yang menjurus ke segala arah dalam masyarakat yang disebut tetangga untuk yang terdekat, kampung, daerah, Negara, dan seterusnya dunia.Sebagai sentral dan sekaligus anggota masyarakat, keluarga mempunyai inter-relasi dengan masyarakat di luarnya.Sehingga setiap individu dalam suatu keluarga berusaha untuk membawa citra keluarga di dalam masyarakat.Hubungan antar keluarga yang baik berarti hubungan masyarakat yang baik pula. Dan keluarga sebagai setiap unit, setiap anggotanya, dapat dikatakan juga sebagai wakil dari keluarga dalam kehidupan sosial.Hal ini dapat kita lihat misalnya dalam masyarakat jawa yang mementingkan keluarga inti sebagai suatu unit yang setiap anggota-anggotanya berhak dan mempunyai tugas untuk mewakili keluarga keluarga.
Keterikatan mengacu pada ikatan antara dua orang individu atau lebih; sifatnya adalah hubungan psikologis yang diskriminatif dan spesifik, dan mengikat seseorang dengan orang lain dalam rentang waktu dan ruang tertentu. Para ahli riset dan klinis menaruh perhatian khusus pada dua jenis ikatan: keterikatan dengan orang-tua (yang sayangnya, di dalam literatur, acapkali diartikan sebagai ikatan pada pihak ibu saja) dan keterikatan dengan anak-anak. Sudah diakui secara luas bahwa anak-anak secara psikologis terikat kepada orang tua mereka; bayi-bayi manusia mula-mula mengalami keterikatan dengan ibunya dan (biasanya tidak lama kemudian) kepada orang dekat selain ibu (significant-others) dalam paruh kedua usia mereka yang pertama.
Keinginan untuk selalu dekat adalah hal umum yang ditafsirkan sebagai pertanda adanya ikatan anak kepada orang tua; indikator lain adalah tingkah laku anak-anak dalann situasi yang dipandang asing dan tindakan seperti cara senyum yang berbeda, ta-ngisan atau jeritan sebagai protes bila ia dipisah dari orang tuanya .Untuk menjelaskan fenomena keterikatan ini perlu ada kriteria berganda, karena adanya perbedaan antar-individu dalam mengorganisir dan mewujudkan keterikatannya perbedaan yang muncul karena variasi dalam cara perawatan oleh ibu. Namun, karena sistem keterikatan anak sifatnya timbal-balik dengan orang tua, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa seorang ibu dan anak yang masih kecil membentuk sistem keterikatan tunggal. Rasa senang dan saling membutuhkan sifatnya saling menjalin dalam keterikatan tersebut; sehingga mustahil untuk menceritakan keterikatan yang satu tanpa menjelaskan yang lain. Tidak banyak kesepakatan mengenai sifat proses motivasional yang amat kuat.
Saran
1.Menjalin hubungan dengan keluarga besar merupakan hal yang penting,selain memperpanjang umur juga merupakan anjuran dalam islam.
2.Keterikatan anak pada orangtua merupakan hal yang wajar, jadi para orang tua harus memperhatikan kelumrahan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
http://selaputs.blogspot.com/2011/01/arti-definisi-pengertian-keterikatan.html
Drs.Khairuddin. H, H.SS, Sosiologi Keluarga, Liberty, Yogyakarta, 2008
Ihromi T.O, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999.
Goode, William J , Sosiologi Keluarga, Jakarta: Bumi aksara, 2007.